A.
Sejarah Akuntansi di Indonesia
Akuntansi
sebenarnya sudah ada sejak manusia mulai dapat menghitung dan membuat suatu
catatan, dengan menggunakan batu, kayu, bahkan daun. Pada abad ke–15,
terjadilah perkembangan dan perluasan perdagangan oleh pedagang-pedagang
Venesia. Perkembangan perdagangan ini menyebabkan diperlukannya suatu sistem
pencatatan yang lebih baik sehingga dengan demikian akuntansi mulai berkembang.
Pada
akhir abad XV, sejalan dengan menurunnya pengaruh Romawi, pusat perdagangan
bergeser ke Spanyol, Portugis, dan Belanda. Akibatnya, sistem akuntansi yang
telah dikembangkan Romawi juga ikut berpindah dan digunakan di negara-negara
tersebut. Sejak itu perhitungan rugi laba mulai dibuat secara tahunan yang
kemudian mendorong dikembangkannya penyusunan neraca secara rutin pada akhir
jangka waktu tertentu.
Pada
abad XIX revolusi industri di Eropa mendorong berkembangnya akuntansi biayadan
konsep penyusutan. Pada tahun 1930, New York Slock Exchange dan American
Institute of Certiļ¬ed Public Accountant membahas dan menetapkan prinsip-prinsip
akuntansi bagi perusahaanperusahaan yang sahamnya terdaftar di bursa saham.
Praktik
akuntansi di Indonesia dapat ditelusur pada era penjajahan Belanda sekitar 17
(ADB 2003) atau sekitar tahun 1642 (Soemarso 1995). Jejak yang jelas berkaitan
dengan praktik akuntansi di Indonesia dapat ditemui pada tahun 1747, yaitu
praktik pembukuan yang dilaksanakan Amphioen Sociteyt yang berkedudukan di
Jakarta (Soemarso 1995). Pada era ini Belanda mengenalkan sistem pembukuan
berpasangan (double-entry bookkeeping) sebagaimana yang dikembangkan oleh Luca
Pacioli. Sistem ini diperkenalkan oleh Luca Pacioli bersama Leonardo da Vinci,
dan sudah dipakai untuk melakukan pencatatan upah sejak zaman Babilonia. Sistem
Kontinetal merupakan pencatatan semua transaksi ke dalam dua bagian, yaitu
debit dan kredit secara seimbang dan menghasilkan pembukuan yang sistematis
serta laporan keuangan yang terpadu. Dengan menggunakan sistem ini perusahaan
mendapatkan gambaran tentang laba rugi usaha, kekayaan perusahaan, serta hak
pemilik.
Perusahaan
VOC milik Belanda-yang merupakan organisasi komersial utama selama masa
penjajahan memainkan peranan penting dalam praktik bisnis di Indonesia selama
era ini (Diga dan Yunus 1997).
Kegiatan
ekonomi pada masa penjajahan meningkat cepat selama tahun 1800an dan awal tahun
1900an. Hal ini ditandai dengan dihapuskannya tanam paksa sehingga pengusaha
Belanda banyak yang menanamkan modalnya di Indonesia. Peningkatan kegiatan
ekonomi mendorong munculnya permintaan akan tenaga akuntan dan juru buku yang
terlatih. Akibatnya, fungsi auditing mulai dikenalkan di Indonesia pada tahun
1907 (Soemarso 1995). Peluang terhadap kebutuhan audit ini akhirnya diambil
oleh akuntan Belanda dan Inggris yang masuk ke Indonesia untuk membantu
kegiatan administrasi di perusahaan tekstil dan perusahaan manufaktur (Yunus
1990).
Internal
auditor yang pertama kali datang di Indonesia adalah J.W Labrijn-yang sudah
berada di Indonesia pada tahun 1896 dan orang pertama yang melaksanakan
pekerjaan audit (menyusun dan mengontrol pembukuan perusahaan) adalah Van
Schagen yang dikirim ke Indonesia pada tahun 1907 (Soemarso 1995).
Pengiriman
Van Schagen merupakan titik tolak berdirinya Jawatan Akuntan Negara- Government
Accountant Dienst yang terbentuk pada tahun 1915 (Soermarso 1995).
Akuntan
publik yang pertama adalah Frese & Hogeweg yang mendirikan kantor di
Indonesia pada tahun 1918. Pendirian kantor ini diikuti kantor akuntan yang
lain yaitu kantor akuntan H.Y.Voerens pada tahun 1920 dan pendirian Jawatan
Akuntan Pajak- Belasting Accountant Dienst (Soemarso 1995). Pada era
penjajahan, tidak ada orang Indonesia yang bekerja sebagai akuntan publik.
Orang
Indonesa pertama yang bekerja di bidang akuntansi adalah JD Massie, yang
diangkat sebagai pemegang buku pada Jawatan Akuntan Pajak pada tanggal 21
September 1929 (Soemarso 1995). Kesempatan bagi akuntan lokal (Indonesia) mulai
muncul pada tahun 1942-1945, dengan mundurnya Belanda dari Indonesia.
Pada
tahun 1947 hanya ada satu orang akuntan yang berbangsa Indonesia yaitu Prof.
Dr. Abutari (Soermarso 1995). Praktik akuntansi model Belanda masih digunakan
selama era setelah kemerdekaan (1950an). Pendidikan dan pelatihan akuntansi
masih didominasi oleh sistem akuntansi model Belanda. Nasionalisasi atas
perusahaan yang dimiliki Belanda dan pindahnya orang orang Belanda dari
Indonesia pada tahun 1958 menyebabkan kelangkaan akuntan dan tenaga ahli (Diga
dan Yunus 1997). Atas dasar nasionalisasi dan kelangkaan akuntan, Indonesia pada
akhirnya berpaling ke praktik akuntansi model Amerika. Namun demikian, pada era
ini praktik akuntansi model Amerika mampu berbaur dengan akuntansi model
Belanda, terutama yang terjadi di lembaga pemerintah. Makin meningkatnya jumlah
institusi pendidikan tinggi yang menawarkan pendidikan akuntansi-seperti
pembukaan jurusan akuntansi di Universitas Indonesia 1952, Institute Ilmu
Keuangan (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara-STAN) 1990, Univesitas Padjajaran
1961, Universitas Sumatera Utara 1962, Universitas Airlangga 1962 dan
Universitas Gadjah Mada 1964 (Soermarso 1995)-telah mendorong pergantian
praktik akuntansi model Belanda dengan model Amerika pada tahun 1960 (ADB
2003).
Selanjutnya,
pada tahun 1970 semua lembaga harus mengadopsi sistem akuntansi model Amerika
(Diga dan Yunus 1997). Pada pertengahan tahun 1980an, sekelompok tehnokrat
muncul dan memiliki kepedulian terhadap reformasi ekonomi dan akuntansi.
Kelompok tersebut berusaha untuk menciptakan ekonomi yang lebih kompetitif dan
lebih berorientasi pada pasar dengan dukungan praktik akuntansi yang baik.
Kebijakan kelompok tersebut memperoleh dukungan yang kuat dari investor asing
dan lembaga-lembaga internasional (Rosser 1999). Sebelum perbaikan pasar modal
dan pengenalan reformasi akuntansi tahun 1980an dan awal 1990an, dalam praktik
banyak ditemui perusahaan yang memiliki tiga jenis pembukuan-satu untuk
menunjukkan gambaran sebenarnya dari perusahaan dan untuk dasar pengambilan
keputusan; satu untuk menunjukkan hasil yang positif dengan maksud agar dapat
digunakan untuk mengajukan pinjaman/kredit dari bank domestik dan asing; dan
satu lagi yang menjukkan hasil negatif (rugi) untuk tujuan pajak (Kwik 1994).
Pada
awal tahun 1990an, tekanan untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan muncul
seiring dengan terjadinya berbagai skandal pelaporan keuangan yang dapat
mempengaruhi kepercayaan dan perilaku investor.
Skandal
pertama adalah kasus Bank Duta (bank swasta yang dimiliki oleh tiga yayasan
yang dikendalikan presiden Suharto). Bank Duta go public pada tahun 1990 tetapi
gagal mengungkapkan kerugian yang jumlah besar (ADB 2003). Bank Duta juga tidak
menginformasi semua informasi kepada Bapepam, auditornya atau underwriternya
tentang masalah tersebut. Celakanya, auditor Bank Duta mengeluarkan opini wajar
tanpa pengecualian. Kasus ini diikuti oleh kasus Plaza Indonesia Realty
(pertengahan 1992) dan Barito Pacific Timber (1993). Rosser (1999) mengatakan
bahwa bagi pemerintah Indonesia, kualitas pelaporan keuangan harus diperbaiki
jika memang pemerintah menginginkan adanya transformasi pasar modal dari model
“ casino ” menjadi model yang dapat memobilisasi aliran investas jangka
panjang.
Berbagai
skandal tersebut telah mendorong pemerintah dan badan berwenang untuk
mengeluarkan kebijakan regulasi yang ketat berkaitan dengan pelaporan keuangan.
Pertama, pada September 1994, pemerintah melalui IAI mengadopsi seperangkat
standar akuntansi keuangan, yang dikenal dengan Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK). Kedua, Pemerintah bekerja sama dengan Bank Dunia (World Bank)
melaksanakan Proyek Pengembangan Akuntansi yang ditujukan untuk mengembangkan
regulasi akuntansi dan melatih profesi akuntansi. Ketiga, pada tahun 1995,
pemerintah membuat berbagai aturan berkaitan dengan akuntansi dalam Undang
Undang Perseroan Terbatas. Keempat, pada tahun 1995 pemerintah memasukkan aspek
akuntansi/pelaporan keuangan kedalam Undang-Undang Pasar Modal (Rosser 1999).
Jatuhnya
nilai rupiah pada tahun 1997-1998 makin meningkatkan tekanan pada pemerintah
untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan. Sampai awal 1998, kebangkrutan
konglomarat, collapse nya system perbankan, meningkatnya inflasi dan
pengangguran memaksa pemerintah bekerja sama dengan IMF dan melakukan negosiasi
atas berbagaai paket penyelamat yang ditawarkan IMF. Pada waktu ini, kesalahan
secara tidak langsung diarahkan pada buruknya praktik akuntansi dan rendahnya
kualitas keterbukaan informasi (transparency).
B.
Perkembangan Akuntansi Di Indonesia
Perkembangan
akuntansi di Indonesia, pada mulanya menganut sistem kontinental, sama seperti
yang di pakai Belanda. Sistem kontinental ini, yang di sebut juga Tata Buku
atau Pembukuan, yang sebenarnya tidak sama dengan akuntansi, karena Tata Buku
(Bookkeeping) adalah elemen prosedural dari akuntansi sebagaimana aritmatika
adalah elemen prosedural dari matematika.
Selain
itu, terletak perbedaan antara tata buku dengan Akuntansi, yakni :
a.
Tata Buku (Bookkeeping): menyangkut kegiatan–kegiatan proses akuntansi seperti
pencatatan, peringkasan, penggolongan, dan aktivitas – aktivitas lain yang
bertujuan untuk menghasilkan informasi akuntansi yang berdasarkan pada data.
b.
Akuntansi (Accounting): menyangkut kegiatan–kegiatan analisis dan interprestasi
berdasarkan informasi akuntansi.
Pertengahan
abad ke–18, terjadi Revolusi Industri di Inggris yang mendorong pula
perkembangan akuntansi. Pada waktu itu, para manajer pabrik, misalnya ingin
mengetahui biaya produksinya. Dengan mengetahui berapa besar biaya produksi,
mereka dapat mengawasi efektivitas proses produksi dan menetapkan harga jual.
Sejalan dengan itu, berkembanglah akuntansi dalam bidang khusus, yaitu
akuntansi biaya yang memfokuskan diri pada pencatatan biaya produksidan
penyediaan informasi bagi manajemen. Revolusi Industri mengakibatkan
perkembangan akuntansi semakin pesat sehingga menyebar sampai ke Benua Amerika,
khususnya di Amerika Serikat dan melahirkan sistem Anglo Saxon.
Seiring
perkembangan, selanjutnya tata buku mulai di tinggalkan orang. Di Indonesia,
orang atau perusahaan semakin banyak menerapkan sistem akuntansi Anglo Saxon
yang berasal dari Amerika, dan ini di sebabkan oleh :
a.
Pada tahun 1957, Adanya konfrontasi Irian Barat antara Indonesia – Belanda yang
membuat seluruh pelajar Indonesia yang sekolah di Belanda di tarik kembali dan
dapat melanjutkan kembali studinya di berbagai Negara (termasuk Amerika),
terkecuali negara Belanda.
b.
Hampir sebagian besar mereka yang berperan dalam kegiatan pengembangan
akuntansi menyelesaikan pendidikannya di Amerika, dan menerapkan system
akuntansi Anglo Saxon di Indonesia. Sehingga sistem ini lebih dominan di
gunakan daripada sistem Kontinental / Tata buku di Indonesia.
c.
Dengan adanya sistem akuntansi Anglo Saxon, Penanaman Modal Asing (PMA) di
Indonesia membawa dampak positif terhadap perkembangan akuntansi.
Selain
itu, terdapat beberapa perbedaan istilah antara tata buku dan akuntansi, yaitu
:
-Istilah
‘perkiraan’, menjadi ‘akun’;
-Istilah
‘neraca laju’, menjadi ‘kertas kerja’ ;
-dan
lain – lain.
Di
Indonesia, Komite Prinsip Akuntansi (KPA) merumuskan Standar Akuntansi untuk di
sahkan oleh Pengawas Pusat Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai Standar
Akuntansi Keuangan (SAK) dan berfungsi untuk menyesuaikan dan menyusun laporan
keuangan yang di keluarkan oleh pihak ekstern. Sejalan dengan perkembangan
ekonomi, hubungan dagang antarnegara pada masa – masa kerajaan di masa lalu
seperti Majapahit, Mataram, Sriwijaya, menjadi pintu masuk akuntansi dari
negara lain ke Indonesia.
Meskipun
demikian, belum terdapat penelitian yang memadai mengenai sejarah akuntansi di
Indonesia. Masa perkembangan akuntansi di Indonesia secara garis besar dapat
dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Masa Penjajahan Belanda dan Jepang
Kedatangan
bangsa Belanda di Indonesia akhir abad ke-16 awalnya untuk berdagang, kemudian
Belanda membentuk perserikatan maskapai Belanda yang dikenal dengan Vereenigde
Oost Indische Compagnie (VOC). Pada tahun 1602, terjadi peleburan 14 maskapai
yang beroperasi di Hindia Timur, yang selanjutnya di tahun 1619 membuka cabang
di Batavia dan kota-kota lainnya di Indonesia. Perjalanan VOC ini berakhir pada
tahun 1799 dan setelah VOC dibubarkan, kekuasaan diambil alih oleh Kerajaan
Belanda. Sejak masa itulah mulai tumbuh perusahaan - perusahaan Belanda di
Indonesia. Catatan pembukuan saat itu menekankan pada mekanisme debit dan
kredit berdasarkan praktik dagang yang semata-mata untuk kepentingan perusahaan
Belanda. Pada masa ini, sektor us aha kecil dan menengah umumnya dikuasai oieh
masyarakat Cina, India, dan Arab yang praktik akuntansinya menggunakan atau
dipengaruhi oieh sistem dari negara mereka masing-masing. Pada masa penjajahan
Jepang tahun 1942 sampai 1945, system akuntansi tidak banyak mengalami
perubahan, yaitu tetap menggunakan pola Belanda.
b.
Masa Kemerdekaan
Sistem
akuntansi yang beriaku di Indonesia mengikuti sejarah masa lampau dari masa
kolonial Belanda, maka sistem akuntansinya mengikuti akuntansi Belanda yang
dikenal dengan Sistem Tata Buku. Sistem Tata Buku ini merupakan subsistem
akuntansi atau hanya merupakan metode pencatatan. Setelah masa penjajahan
Belanda berakhir dan masuk ke dalam masa kemerdekaan, banyak perusahaan milik
Belanda yang dirasionalisasi yang diikuti pula dengan masuknya berbagai
investor asing, terutama Amerika Serikat. Para investor tersebut memperkenalkan
system akuntansi Amerika Serikat ke Indonesia.
Berikut
ini tabel ringkasan perkembangan akuntansi di Indonesia.
Adanya
perubahan lingkungan global yang semakin menyatukan hampir seluruh negara di
dunia dalam komunitas tunggal, yang dijembatani perkembangan teknologi
komunikasi dan informasi yang semakin murah, menuntut adanya transparansi di
segala bidang. Standar akuntansi keuangan yang berkualitas merupakan salah satu
prasarana penting untuk mewujudkan transparasi tersebut.
Standar
akuntansi keuangan dapat diibaratkan sebagai sebuah cermin, di mana cermin yang
baik akan mampu menggambarkan kondisi praktis bisnis yang sebenarnya. Oleh
karena itu, pengembangan standar akuntansi keuangan yang baik, sangat relevan
dan mutlak diperlukan pada masa sekarang ini.
Terkait
hal tersebut, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai wadah profesi akuntansi di
Indonesia selalu tanggap terhadap perkembangan yang terjadi, khususnya dalam
hal-hal yang memengaruhi dunia usaha dan profesi akuntan. Hal ini dapat dilihat
dari dinamika kegiatan pengembangan standar akuntansi sejak berdirinya IAI pada
tahun 1957 hingga kini. Setidaknya, terdapat tiga tonggak sejarah dalam
pengembangan standar akuntansi keuangan di Indonesia.
Tonggak
sejarah pertama, menjelang diaktifkannya pasar modal di Indonesia pada tahun
1973. Pada masa itu merupakan pertama kalinya IAI melakukan kodifikasi prinsip
dan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia dalam suatu buku ”Prinsip
Akuntansi Indonesia (PAI).” Kemudian, tonggak sejarah kedua terjadi pada tahun
1984. Pada masa itu, komite PAI melakukan revisi secara mendasar PAI 1973 dan
kemudian mengkondifikasikannya alam buku ”Prinsip Akuntansi Indonesia 1984”
dengan tujuan untuk menyesuaikan ketentuan akuntansi dengan perkembangan dunia
usaha. Berikutnya pada tahun 1994, IAI kembali melakukan revisi total terhadap
PAI 1984 dan melakukan kodifikasi dalam buku ”Standar Akuntansi Keuangan (SAK)
per 1 Oktober 1994.” Sejak tahun 1994, IAI juga telah memutuskan untuk
melakukan harmonisasi dengan standar akuntansi internasional dalam pengembangan
standarnya.
Dalam
perkembangan selanjutnya, terjadi perubahan dari harmonisasi ke adaptasi,
kemudian menjadi adopsi dalam rangka konvergensi dengan International Financial
Reporting Standards (IFRS). Program adopsi penuh dalam rangka mencapai
konvergensi dengan IFRS direncanakan dapat terlaksana dalam beberapa tahun ke
depan. Dalam perkembangannya, standar akuntansi keuangan terus direvisi secara
berkesinambungan, baik berupa berupa penyempurnaan maupun penambahan standar
baru sejak tahun 1994. Proses revisi telah dilakukan enam kali, yaitu pada
tanggal 1 Oktober 1995, 1 Juni 1996, 1 Juni 1999, 1 April 2002, 1 Oktober 2004,
dan 1 September 2007. Buku ”Standar Akuntansi Keuangan per 1 September 2007”
ini di dalamnya sudah bertambah dibandingkan revisi sebelumnya yaitu tambahan
KDPPLK Syariah, 6 PSAK baru, dan 5 PSAK revisi. Secara garis besar, sekarang
ini terdapat 2 KDPPLK, 62 PSAK, dan 7 ISAK. Untuk dapat menghasilkan standar
akuntansi keuangan yang baik, maka badan penyusunnya terus dikembangkan dan
disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. Awalnya, cikal bakal badan penyusun
standar akuntansi adalah Panitia Penghimpunan Bahan-bahan dan Struktur dari
GAAP dan GAAS yang dibentuk pada tahun 1973.
Pada
tahun 1974 dibentuk Komite Prinsip Akuntansi Indonesia PAI) yang bertugas
menyusun dan mengembangkan standar akuntansi keuangan. Komite PAI telah
bertugas selama empat periode kepengurusan IAI sejak tahun 1974 hingga 1994
dengan susunan personel yang terus diperbarui. Selanjutnya, pada periode
kepengurusan IAI tahun 1994-1998 nama Komite PAI diubah menjadi Komite Standar
Akuntansi Keuangan (Komite SAK). Kemudian, pada Kongres VIII IAI tanggal 23-24
September 1998 di Jakarta, Komite SAK diubah kembali menjadi Dewan Standar
Akuntansi Keuangan (DSAK) dengan diberikan otonomi untuk menyusun dan
mengesahkan PSAK dan ISAK. Selain itu, juga telah dibentuk Komite Akuntansi
Syariah (KAS) dan Dewan Konsultatif Standar Akuntansi Keuangan (DKSAK). Komite
Akuntansi Syariah (KAS) dibentuk tanggal 18 Oktober 2005 untuk menopang
kelancaran kegiatan penyusunan PSAK yang terkait dengan perlakuan akuntansi transaksi
syariah yang dilakukan oleh DSAK. Sedangkan DKSAK yang anggotanya terdiri atas
profesi akuntan dan luar profesi akuntan, yang mewakili para pengguna,
merupakan mitra DSAK dalam merumuskan arah dan pengembangan SAK di Indonesia.
Ada
juga pendapat yang lain mengtakan bahwa perkembangan standar akuntansi keuangan
di Indonesia yang terbaru mengadopsi IFRS ke PSAK, kronologis kejadian dari
tahun ke tahun adalah sebagai berikut :
Ikatan
Akuntansi Indonesia (IAI) telah membentuk Komite Prinsip-prinsip Akuntansi
Indonesia untuk menetapkan standar-standar akuntansi, yang kemudian dikenal
dengan Prinsip-prinsip Akuntansi Indonesia (PAI). (Terjadi pada periode
1973-1984). Komite PAI melakukan revisi secara mendasar PAI 1973 dan kemudian
menerbitkan Prinsip Akuntansi Indonesia 1984 (PAI 1984). Menjelang akhir 1994,
Komite standar akuntansi memulai suatu revisi besar atas prinsip-prinsip
akuntansi Indonesia dengan mengumumkan pernyataan-pernyataan standar akuntansi
tambahan dan menerbitkan interpretasi atas standar tersebut. Revisi tersebut
menghasilkan 35 pernyataan standar akuntansi keuangan, yang sebagian besar
harmonis dengan IAS yang dikeluarkan oleh IASB.
(Terjadi
pada periode 1984-1994) Ada perubahan Kiblat dari US GAAP ke IFRS, hal ini
ditunjukkan Sejak tahun 1994, telah menjadi kebijakan dari Komite Standar
Akuntansi Keuangan untuk menggunakan International Accounting Standards sebagai
dasar untuk membangun standar akuntansi keuangan Indonesia. Dan pada tahun
1995, IAI melakukan revisi besar untuk menerapkan standar-standar akuntansi
baru, yang kebanyakan konsisten dengan IAS. Beberapa standar diadopsi dari US
GAAP dan lainnya dibuat sendiri. (Terjadi pada periode 1994-2004). Merupakan
konvergensi IFRS Tahap 1, Sejak tahun 1995 sampai tahun 2010, buku Standar Akuntansi
Keuangan (SAK) terus direvisi secara berkesinambungan, baik berupa
penyempurnaan maupun penambahan standar baru. Proses revisi dilakukan sebanyak
enam kali yakni pada tanggal 1 Oktober 1995, 1 Juni 1999, 1 April 2002, 1
Oktober 2004, 1 Juni 2006, 1 September 2007, dan versi 1 Juli 2009. Pada tahun
2006 dalam kongres IAI (Cek Lagi nanti) X di Jakarta ditetapkan bahwa
konvergensi penuh IFRS akan diselesaikan pada tahun 2008. Target ketika itu
adalah taat penuh dengan semua standar IFRS pada tahun 2008.
Namun
dalam perjalanannya ternyata tidak mudah. Sampai akhir tahun 2008 jumlah IFRS
yang diadopsi baru mencapai 10 standar IFRS dari total 33 standar. (terjadi
pada periode 2006-2008)
C.
Standar Akuntansi Internasional di Indonesia
Berikut
adalah perkembangan standar akuntansi Indonesia mulai dari awal sampai dengan
saat ini yang menuju konvergensi dengan IFRS (Sumber: Ikatan Akuntan Indonesia,
2008) di Indonesia selama dalam penjajahan Belanda, tidak ada standar Akuntansi
yang dipakai. Indonesia memakai standar (Sound Business Practices) gaya Belanda
sampai Thn. 1955 : Indonesia belum mempunyai undang – undang resmi / peraturan
tentang standar keuangan.
a.
Tahun. 1974 : Indonesia mengikuti standar Akuntansi Amerika yang dibuat oleh IAI
yang disebut dengan prinsip Akuntansi.
b.
Tahun. 1984 : Prinsip Akuntansi di Indonesia ditetapkan menjadi standar
Akuntansi.
c.
Akhir Tahun 1984 : Standar Akuntansi di Indonesia mengikuti standar yang
bersumber dari IASC (International Accounting Standart Committee)
d.
Sejak Tahun. 1994 : IAI sudah committed mengikuti IASC / IFRS.
e.
Tahun 2008 : diharapkan perbedaan PSAK dengan IFRS akan dapat diselesaikan.
f.
Tahun 2012 : ikut IFRS sepenuhnya?
Asas
Standar akuntansi di Indonesia yang berlaku saat ini mengacu pada US GAAP
(United Stated Generally Accepted Accounting Standard), namun pada beberapa
pasal sudah mengadopsi IFRS yang sifatnya harmonisasi. Adopsi yang dilakukan
Indonesia saat ini sifatnya belum menyeluruh, baru sebagian (harmonisasi). Di
era globalisasi saat ini menuntut adanya suatu sistem akuntansi internasional
yang dapat diberlakukan secara internasional di setiap negara, atau diperlukan
adanya harmonisasi terhadap standar akuntansi internasional. Namun proses
harmonisasi ini memiliki hambatan antaralain nasionalisme dan budaya tiap-tiap
negara, perbedaan system pemerintahan pada tiap-tiap negara, perbedaan
kepentingan antara perusahaan multinasional dengan perusahaan nasional yang
sangat mempengaruhi proses harmonisasi antar negara, serta tingginya biaya
untuk merubah prinsip akuntansi.
Pesatnya
teknologi informasi ini merupakan akses bagi banyak investor untuk memasuki
pasar modal di seluruh dunia, Kebutuhan ini tidak bisa terpenuhi apabila
perusahaan-perusahaan masih memakai prinsip pelaporan keuangan yang
berbeda-beda. Amerika memakai FASB dan US GAAP, Indonesia memakai PSAK-nya IAI,
uni eropa memakai IAS dan IASB. Hal tersebut melatarbelakangi perlunya adopsi
IFRS saat ini.
Pengadopsian
standar akuntansi internasional ke dalam standar akuntansi domestik bertujuan
menghasilkan laporan keuangan yang memiliki tingkat kredibilitas tinggi,
persyaratan akan item item pengungkapan akan semakin tinggi sehingga nilai
perusahaan akan semakin tinggi pula, manajemen akan memiliki tingkat
akuntabilitas tinggi dalam menjalankan perusahaan, laporan keuangan perusahaan
menghasilkan informasi yang lebih relevan dan akurat, dan laporan keuangan akan
lebih dapat diperbandingkan dan menghasilkan informasi yang valid untuk aktiva,
hutang, ekuitas, pendapatan dan beban perusahaan.
Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI) mencanangkan bahwa Standar akuntansi internasional
(IFRS) akan mulai berlaku di Indonesia pada tahun 2012 secara keseluruhan atau
full adoption. Diharapkan Indonesia sudah mengadopsi keseluruhan IFRS, sedangkan
khusus untuk perbankan diharapkan tahun 2010. Dengan pencanangan tersebut
timbul permasalahan mengenai sejauh mana adopsi IFRS dapat diterapkan dalam
Laporan Keuangan di Indonesia, bagaimana sifat adopsi yang cocok apakah adopsi
seluruh atau sebagian (harmonisasi), dan manfaat bagi perusahaan yang
mengadopsi khususnya dan bagi perekonomian Indonesia pada umumnya, serta
bagaimana kesiapan Indonesia untuk mengadopsi IFRS.
IFRS
(Internasional Financial Accounting Standard) adalah suatu upaya untuk memperkuat
arsitektur keungan global dan mencari solusi jangka panjang terhadap kurangnya
transparansi informasi keuangan. Tujuan IFRS adalah memastikan bahwa laporan
keungan interim perusahaan untuk periode-periode yang dimaksukan dalam laporan
keuangan tahunan, mengandung informasi berkualitas tinggi yang:
a.
Menghasilkan transparansi bagi para pengguna dan dapat dibandingkan sepanjang
periode yang disajikan.
b.
Menyediakan titik awal yang memadai untuk akuntansi yang berdasarkan pada IFRS.
c.
Dapat dihasilkan dengan biaya yang tidak melebihi manfaat untuk para pengguna.
Saat
ini standar akuntansi keuangan nasional sedang dalam proses konvergensi secara
penuh dengan International Financial Reporting Standards(IFRS) yang dikeluarkan
oleh IASB (International Accounting Standards Board). Oleh karena itu, arah
penyusunan dan pengembangan standar akuntansi keuangan ke depan akan selalu
mengacu pada standar akuntansi internasional (IFRS) tersebut.
Peranan
dan keuntungan harmonisasi atau adopsi IFRS sebagai standar akuntansi domestik
: Keuntungan harmonisasi menurut Lecturer Ph. Diaconu Paul (2002) adalah:
1.
Informasi keuangan yang dapat diperbandingkan,
2.
Harmonisasi dapat menghemat waktu dan uang,
3.
Mempermudah transfer informasi kepada karyawan serta mempermudah dalam
melakukan training pada karyawan,
4.
Meningkatkan perkembangan pasar modal domestik menuju pasar modal
internasional,
5.
Mempermudah dalam melakukan analisis kompetitif dan operasional yang berguna
untuk menjalankan bisnis serta mempermudah dalam pengelolaan hubungan baik
dengan pelanggan, supplier, dan pihak lain.
Dengan
mengadopsi IFRS berarti laporan keuangan berbicara dengan bahasa akuntansi yang
sama, hal ini akan memudahkan perusahaan multinasional dalam berkomunikasi
dengan cabang cabang perusahaannya yang berada dalam negara yang berbeda,
meningkatkan kualitas pelaporan manajemen dan pengambilan keputusan. Dengan
mengadopsi IFRS juga berarti meningkatkan kepastian dan konsistensi dalam
interpretasi akuntansi, sehingga memudahkan proses akuisisi dan divestasi.
Dengan mengadopsi IFRS kinerja perusahaan dapat diperbandingkan dengan pesaing
lainnya secara global, apalagi dengan semakin meningkatnya persaingan global
saat ini. Akan menjadi suatu kelemahan bagi suatu perusahaan jika tidak dapat
diperbandingkan secara global, yang berarti kurang mampu dalam menarik modal
dan menghasilkan keuntungan di masa depan.
Indonesia
perlu mengadopsi standar akuntansi internasional untuk memudahkan perusahaan
asing yang akan menjual saham di negara ini atau sebaliknya. Namun demikian,
untuk mengadopsi standar internasional itu bukan perkara mudah karena
memerlukan pemahaman dan biaya sosialisasi yang mahal. Indonesia sudah
melakukannya namun sifatnya baru harmonisasi, dan selanjutnya akan dilakukan
full adoption atas standar internasional tersebut. Adopsi standar akuntansi
internasional tersebut terutama untuk perusahaan publik. Hal ini dikarenakan
perusahaan publik merupakan perusahaan yang melakukan transaksi bukan hanya
nasional tetapi juga secara internasional. Jika ada perusahaan dari luar negeri
ingin menjual saham di Indonesia atau sebaliknya, tidak akan lagi dipersoalkan
perbedaan standar akuntansi yang dipergunakan dalam menyusun laporan.
D.
Faktor Lingkungan yang Berpengaruh Terhadap Pengembangan Akuntansi
Telah
banyak yang menyatakan bahwa akuntansi dipengaruhi oleh lingkungannya dan
sebaliknya akuntansi juga mempengaruhi lingkungannya. Pada pokoknya, tesis ini
menyiratkan bahwa inovasi dan perkembangan akuntansi dipicu oleh faktor-faktor
non-akuntansi. Standar-standar akuntansi muncul ke permukaan setelah banyak akuntan mengalami tuntutan
hukum, LIFO ditimbulkan oleh kondisi-kondisi inflasi, dan banyak
pengungkapan-pengungkapan keuangan yang merupakan konsekuensi dari pasar modal
publik.
Kondisi-kondisi
lingkungan yang diharapkan mempengaruhi penentuan standar akuntansi, meiliputi:
1.
Relativisme budaya, dengan cara bagaimana konsep-konsep akuntansi yang ada di
setiap negara seunik ciri budaya negara tersebut.
2.
Relativisme linguistik, dengan cara bagaimana akuntansi sebagai suatu bahasa
dengan karakteristik leksikal dan gramatikalnya akan mempengaruhi perilaku
linguistik dan non-linguistik dari para penggunanya.
3.
Relativisme politik dan sipil, dengan cara bagaimana konsep akuntansi yang ada
di setiap negara didasarkan pada konteks keadaan politik dan sipil negara
tersebut.
4.
Realtivisme ekonomi dan demografi, dengan cara bagaimana konsep akuntansi yang
ada di setiap negara didasarkan pada konteks ekonomi dan demografi di negara
tersebut.
Sumber: